Sajak Harapan



Cahaya Harapan
Nur Mu akan selalu terpancar
Dengan gelora semangat juang kami
Kau tegakkan jiwa-jiwa
Cinta kasih pada falsafah

Kekhasan Aswaja
Membangkitkan segala mimpi dan harapan
Meretas angan demi masa depan
Pergerakan jiwa muda yang terkadang tak terlihat

Tak berarti pengerutku tertawa
Hari ini, esok, dan seterusnya……
Pinjamkan sedikit kekuatan-Mu
Untuk kami menegakkan agama-Mu
Mengingat-Mu kembali berkobar
Untukmu Robbi-ku, Ulama’-ku, dan PMII-ku

~U.K. hikmawati

Dalam darahku bergerak
Tak ada dinding
Yang bisa menghalangiku
Tak ada karang
Yang bisa melukaiki
Aku
Rindu merdeka
Bergerak ku dengan langkah kaki
Linglu sempat menghampiriku
Dalam diam ranah penguasa
Aku terdiam
Namun diam merupakan mati bagiku
Pergerakan ku tak berhenti
Sampai tak ada yang memuji
Aku rakyat
Tak ada senyum menghampiriku

~Penuntun rembulan, 12/08/18  Petaling

Fiksi Jalan Asin

Rangkainan patah tanpa tenaga
Terus menjadi fiksi kehilangan arah
Darahnya mengalir kering
Air beku
Suhu rendah
Apa yang membuat takluk???

Darah bergerak
Air mencair
Jalan asing yang ditempuh
Arahpun kembali bahkan balik arah
Realitapun terjadi
Implementasi alur asin

~Saroh Salam

Sajak waktu pagi

Subuh itu,
Dikala  sang  rembulan mulai menarik selimut jingga
Tuk  berganti dengan sang surya.
Wajah-wajah pucat berbalut keringat kering berminyak
Memutar fana menjadi sebuah rangka realita.

Dikala aku dan anganku
Bertebrangan didasar retorika
Hampa, sang surya dengan bangga mengokohkan sinarnya
Roda roda kasar yang tak kenal rasa takut menerjang

Angkuhnya aspal proyek-proyek Kapital
Yang diaminkan para proletar
Dan tiba disarang ratapan
Para penggiat kopi pait dan aroma surya.

Senyum-senyum sumringah tuan tuan penggila kata dan retorika
Memulai diskusi pagi yang semakin menua
Ketundukan kepala seraya berkata
Dia dan dirinya tak lain hanya seonggok retorika dan wacana.

~Zainal


Tak Ada Kita Tapi Hanya Kami

hitam lekat dan putih benderang
tak nampak beda di ujung berang
hingga sampai bunyi sudah genderang
kerang dan karang pun girang dengannya parang

bahasa negri
dan tamborin tak ada beda lagi
di pegang sudah nada berbunyi
bising pun tak apa biar dinikmati.

kesembilan pun tak sepercik milik kami
apa arti segudang bara di bumi ini
bak sekuncup teratai di luas air
kau tak terasa perih
tapi di sini tersayat nyeri

dan jika sejuta kami tak berarti
maka apa arti kau berdiri menunggu disini
dibalut jas rapi berdasi yang formal sekali
yang dulu pernah satu barisan dengan kami.

~dni

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekolah Islam dan Gender (SIG) KOPRI Feminea PMII Rayon Aufklarung

Peranan Mahasiswa: Diam dan semakin ditindas, atau bergerak untuk perubahan

Puisi "Sekelumit Senyum Kala Itu"