Tasawuf Diri: Senja Tak Lagi Indah di Mata
Oleh
Faiz
Senja,
menawarkan keindahan di pelupuk mata. Membawa sejuta kisah yang akan dibawa
pulang. Langit indah, kicauan burung yang bersautan membuat semua orang kian
tertarik kepadanya. Ada orang bilang, senja tak lagi terlihat sama. Mungkin
ungkapan ini ada benarnya, sebab manusia mempunyai makna tersendiri terhadap
senja yang dilihatnya.
Di saat datang
keindahan senja itu, seorang sufi membaca ayat-ayat Al-Qur’an dengan kemerduan
suaranya. Air matanya hampir saja habis tersapu oleh angin-angin yang sengaja
bermain dengan hantaman ombak di tepian karang. Suara istighfar mulai terdengar
diikuti rasa penyesalan. Entah apa yang ia tangisi dan sesalkan, yang jelas
raut wajahnya menggambarkan rasa penyesalan yang kian dalam. Mungkin saja, ia
sedang memikirkan kepulangannya saat dipanggil Tuhan.
Entahlah,
manusia selalu saja melakukan kesalahan. Namun anehnya, berkali-kali ia berbuat
dosa Tuhan selalu datang dengan rasa kasihnya. Memaafkan setiap insan yang
bertobat dengan ketulusan dari dalam hatinya. Meneranginya dengan neraca terang
tanda hidayah Tuhan yang membersamainya dalam setiap urusan.
Tugas manusia
yang diemban semasa di dunia akan digelar pada yaumul mizan, dimana semua amal
akan diperlihatkan. Rasa malu, bersalah, dan penyesalan akan senantiasa
terdengar dari mulut orang-orang yang melalaikan Tuhan. “Andaikan aku hidup
di dunia begini dan begitu, pastilah Tuhan tak akan menghukumku seberat ini.” Namun
kalimat tetaplah kalimat, penyesalan akan datang terlambat, dan azab dari Tuhan
pasti akan datang kepada orang-orang yang belum bertobat.
Alangkah
baiknya, kita juga menggelar kembali tikar amal yang telah terlaksana. Tentu,
masih banyak amal yang tidak sempurna, masih ada kebocoran amal pada hari ini,
kemarin, atau malah besok harinya. Sehingga perlu kita tambal dengan mujahadah.
Kita perbaiki keretakan hubungan dengan Tuhan. Kita sempurnakan sholat kita,
berdzikir, beristighfar, dan rangkaian kegiatan lainnya yang bisa mendekatkan
hati dengan yang Maha Kuasa.
Kemudian kita
perbaiki hubungan kita dengan sesama. Saling memaafkan, dan kembali mengulurkan
tali persahabatan. Marilah memikirkan masa lalu sejenak, hitunglah berapa kata
yang sudah kita luncurkan untuk menebas hati saudara. Kemudian berapa banyak
perbuatan dzalim dan dosa yang mungkin membuat saudara kita terluka. Mungkin
tanpa sadar kita melakukannya, namun keterlukaan itu akan selalu diingat dan
menjadi kebencian apabila kita tidak segera meminta maaf.
Setidaknya kita
diberi waktu sekitar 70 tahun saja. Pada usia 20 sampai 30 tahun adalah usia
keemasan kita, dimana segala hal yang tidak mungkin dilakukan di masa kecil
atau masa tua bisa dilakukan pada usia keemasan. Disana kita bebas berekspresi,
melakukan segala bentuk ibadah dengan kondisi tubuh yang masih terjaga
kebugarannya. Sholat malam kita laksanakan, puasa tak pernah ketinggalan, dan
berdoa seraya meminta ampunan di setiap malam.
Menginjak usia
30 sampai 50 tahun, kita mulai diberi beban keluarga. Kita sudah diberi
tanggung jawab berupa istri dan anak yang perlu dibahagiakan adanya. Ibadah
kita tak lagi sebebas dulu, karena waktu yang dulunya digunakan, perlu kita
bagi dengan kewajiban membahagiakan mereka. Kegiatan bekerja, mengurusi rumah
tangga, dan menghadap Allah swt menjadi satu tantangan yang nyata.
Maka,
beruntunglah mereka yang dapat mengatur waktunya. Mereka bekerja, mengurusi
rumah tangga, kemudian beribadah dengan waktu yang sedemikian rumitnya. Tak ada
rasa menyerah ataupun rasa kalah, karena mereka tahu pertolongan Allah akan selalu
ada untuk orang yang berusaha menjalankan segala kewajibannya.
Menginjak usia
50 tahun, orang akan semakin sadar bahwa keberadaanya di dunia akan segera
berakhir. Wujud dirinya sekarang akan digantikan dengan generasi berikutnya di
masa mendatang. Ini bagaikan siklus, ketika ada yang kembali pasti akan ada
yang datang lagi. Dan begitulah Tuhan mengatur umatnya di kehidupan yang
sementara.
Maka, kakek tua
itu ingin terus menerus mewarnai sisa usianya dengan laku mulia kepada Allah
dan semua manusia. Senja tak begitu indah di mata, karena senja menggambarkan
keterbatasannya menjalankan perintah Tuhan. Usianya yang begitu tua tak
mengizinkan tubuhnya mengulangi aktifitas di masa mudanya. Maka, yang bisa ia
lakukan adalah mengaitkan hatinya dengan Tuhan, setiap ucapan, perbuatan,
maupun laku ibadahnya akan senantiasa dipersembahkan kepada yang Maha Kuasa.
Karena begitulah Tuhan menciptakan, dan begitulah Tuhan akan memanggilnya
pulang.
Editor : Tim Manifesto
Komentar
Posting Komentar