Mencintai Perempuan


Tanggal 21 April kemarin, kita baru saja melaksanakan agenda rutin tahunan kita, atau bisa juga disebut agenda rutin tahunan negara kita. Yap, agenda tersebut adalah memperingati hari lahir seorang pahlawan bangsa, yang giat memperjuangkan hak perempuan terutama di bidang pendidikan. Sudah merupakan hal yang lumrah, masyarakat berbondong-bondong memperingati hari lahir beliau dengan bermacam-macam cara. Ada yang upacara menggunakan kebaya, mengadakan lomba memasak, membuat pamflet ucapan selamat, atau membuat tulisan yang representatif untuk dipublikasikan di hari tersebut.

Saya sendiri membuat tulisan ini, jujur karena paksaan sahabat-sahabat manifesto. Karena sejujurnya, saya agak susah mengatur beberapa diksi untuk menjadikan sebuah tulisan rapi, apalagi dengan tulisan dengan tema serius. Saya terbiasa menulis secara berantakan, kemudian tertinggal dan terlupakan di aplikasi google keep smartphone saya. Tapi terimakasih, paksaan ini menjadikan saya terlihat sebagai perempuan progresif yang senang menulis, padahal tidak.

Bicara tentang progresif, di hari kartini kita sering membaca tulisan yang bicara tentang keharusan perempuan untuk menjadi progresif. Tulisan tersebut ditujukan untuk perempuan yang lebih sering memoles wajah dibanding mengasah otak. Perempuan sendiri memang lebih sering disimbolkan dengan bulan. Cantik, terang dalam gelap, mempunyai atmosfer yang menenangkan para musafir yang berpergian malam. Sementara laki-laki sering disimbolkan dengan simbol matahari, menyatakan bahwa mereka besar, kuat dan punya kebermanfaatan yang lebih untuk umat dibanding sebuah bulan. Bahasa syar'inya, matahari lebih maslahat.

Perumpamaan-perumpamaan ini menurut saya tidak diperlukan. Selain karena perbedaan yang sangat mendasar antara manusia dan sistem tata surya, perumpamaan ini yang terkadang membuat perempuan menjadi sering memoles wajah, daripada mengasah otak. Karena perempuan ingin dipandang cantik layaknya bulan. Kemudian hal ini meluas menjadi problematika standar kecantikan, bahwa perempuan berkulit A secara standar lebih cantik dibanding perempuan berkulit B. Standar kecantikan menurut warna kulit ini -yang entah dibuat oleh siapa- bisa berujung pada problematika rasisme kepada masyarakat dengan warna kulit tertentu. Standar kecantikan juga menimbulkan langgengnya kontes kecantikan antar perempuan, berlomba-lomba menjadi yang paling cantik. Memperebutkan gelar miss universe atau gelar-gelar lain yang sering menimbulkan kegelisahan yang berlebihan, atau sering kita kenal dengan sebutan 'insecurities'. Kemudian problem ini meluas lagi menjadi bodyshamming, yakni mempermalukan seseorang berdasarkan bentuk tubuh maupun warna kulit yang menurut mereka 'tidak cantik'. Bodyshaming pun bisa berujung pada menyakiti seseorang secara psikologis.

Semangat emansipasi Kartini, saya rasa tidak hanya memperjuangkan hak perempuan dalam pendidikan maupun pemikiran, namun juga untuk mencintai perempuan secara humanis, dan tidak sekedar menjadikannya objek visual semata.

Bicara tentang progresif berarti bicara tentang peran perempuan di ruang publik. Sebenarnya kita sudah tahu bagaimana peran konkrit perempuan di ruang publik, hanya saja kita melewatkannya atau tidak memikirkannya. Kita hidup di tanah yang katanya merawat budaya patriarki dengan baik, tapi menurut saya tidak. Perempuan di negara kita telah diberi akses yang setara dengan laki-laki, baik pada pekerjaan yang membutuhkan intelektual tinggi atau pekerjaan kasar sekalipun. Kita bisa melihat peran konkrit perempuan, atau yang saya sebut sebagai perempuan progresif, dari wajah-wajah pekerja perempuan di sekitar kita. Kita bisa menemuinya, di tangan-tangan kasar pekerja bangunan perempuan misalnya. Atau wajah-wajah jurnalis perempuan yang tengah meliput demonstrasi, pada penulis perempuan, menteri perempuan, aktivis-aktivis perempuan, bahkan sjw kasus kekerasan seksual sekalipun. 

Tapi akhir-akhir ini, makna ‘progresif’ hanya diperuntukkan bagi perempuan yang ahli orasi, pejuang isu gender dan politik yang tentu saja, ‘vokal’. Mempersempit makna 'progresif' hanya untuk perempuan-perempuan pejuang gender, perempuan-perempuan yang paham politik, atau perempuan-perempuan tertentu saya rasa kurang tepat. Perempuan bisa progresif di bidangnya masing-masing, tidak hanya di isu gender dan isu politik saja.

Saya beri contoh, salah seorang guru saya yang saya jadikan sebagai role model untuk terus belajar. beliau adalah drg. Ika Dewi Ana, M.Kes., Ph.D, Wakil Rektor UGM Bidang Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Mungkin secara perkuliahan, beliau memang bukan dosen saya karena saya bukan mahasiswa UGM. Namun beliau pernah mengajar salah satu materi di pesantren saya, tentang peran perempuan dalam bidang riset. Hal yang ingin saya garis bawahi adalah, mungkin beliau tidak terlalu gencar menyuarakan isu-isu gender. Mungkin beliau tidak sempat membaca buku-buku karya Fatimah Mernesii, atau Nawal el-Shadawi. Atau mungkin beliau juga tidak terlalu 'ngurusi' politik dan segala tetek bengeknya. Namun menurut saya beliau perempuan progresif. Beliau sangat ahli di bidangnya, yakni bidang kedokteran. Ketekunannya dalam belajar, sejak usia muda hingga sekarang menjadikannya sebagai perempuan yang memimpin UGM dalam bidang riset, penelitian dan pengabdian masyarakat. Jika bukan progresif, apa namanya?

Contoh perempuan progresif lainnya menurut saya adalah Ibu Mustaghfroh Rahayu, MA. Beliau pengasuh pondok pesantren yang saya tinggali di Yogyakarta. Selain menjadi ‘bu nyai’, beliau sekaligus menjadi dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM yang secara concern mempelajari kesetaraan gender, ditinjau dari perspektif ilmu sosial dan pondok pesantren. Kesetaraan gender dan pesantren memang sejak lama dianggap sebaagai dua hal yang saling bersimpangan. Entah karena pengaruh budaya arab yang patriarkis atau bagaimana, beberapa kalangan umat Islam  menganggap kesetaraan gender sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan oleh agama dan menolaknya untuk sekedar didiskusikan di lingkungan pesantren. Perempuan di beberapa pesantren sering kali dijadikan sebagai subjek sekunder yang hanya boleh tampil di belakang layar, dengan bermacam-macam alasan. Alasan yang paling sering didengar karena perempuan adalah sumber fitnah, maka menjadi subjek sekunder adalah pilihan yang paling tepat untuk menghindarkan perempuan dan laki-laki dari fitnah. Ibu Ayu –begitu saya memanggil beliau-, yang hidup di lingkungan pesantren, berusaha menghapus sekat-sekat antara kesetaraan gender dan pesantren itu sendiri. Beliau sekaligus menjadi role model, bahwa santri perempuan dalam pesantren punya hak yang sama untuk menuntut ilmu maupun berkontribusi di ruang publik. Tentu saja dengan bidang dan spesialisasi masing-masing.

Maka tulisan panjang ini, hanya ingin memberikan sedikit poin tentang pentingnya menjadi perempuan yang progresif di bidang masing-masing. Dan salah satu wujud dari mencintai perempuan adalah tidak menjustifikasi mereka berdasarkan fisik maupun riasan wajah. Perempuan yang merias diri bukan berarti tidak progresif, begitu pula sebaliknya.

Penulis  : Syf
Editor    : Tim Manifesto Aufklarung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekolah Islam dan Gender (SIG) KOPRI Feminea PMII Rayon Aufklarung

Peranan Mahasiswa: Diam dan semakin ditindas, atau bergerak untuk perubahan

Puisi "Sekelumit Senyum Kala Itu"