Rasisme di Balik Gaungan Kesetaraan di Indonesia
Dilansir dalam VOA Indonesia, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Robertus Robert mengatakan bahwa rasisme berkaitan erat dengan penjajahan bangsa Eropa di Nusantara. Setelah penduduk jajahan merdeka, rasisme bukannya dibuang, tapi dilestarikan dengan perubahan di dalamnya yakni menukar posisi ras yang dimuliakan dan dinistakan.
Sebagai negara yang heterogen, Indonesia sangat rentan terjadi rasisme, terutama kasus diskriminasi atau memandang sebelah orang Indonesia Timur. Setelah Tragedi kematian George Floyd di Amerika Serikat yang memunculkan kembali isu rasisme warga kulit hitam dengan tagar #BlackLivesMatter di berbagai wilayah dunia, Indonesia pun tidak ketinggalan, isu rasisme berupa kampanye #PapuaLiveMatter yang mengangkat kembali isu diskriminasi penduduk Indonesia terhadap warga Papua menjadi trending topic.
Menurut Associate Professor Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Drs Irwan Martua Hidayana, M.A. dalam kompas.com, rasisme terhadap orang Indonesia Timur terutama Papua terbentuk pada masa Orde Baru. Saat itu daerah tersebut menjadi lokasi operasi militer tahun 1974 dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap kawasan timur Indonesia.
Sebagai mahasiswa, saya menelusuri kasus rasisme ini di lingkungan kampus. Ada beberapa teman saya berasal dari Indonesia Timur yang pernah menjadi korban rasisme. Untuk mendapat informasi secara langsung dari mereka, saya mewawancarai salah satu dari mereka melalui WhatsApp Chat. Sebut saja “A”, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berasal dari Nusa Tenggara Timur.
Kejadian rasisme seperti apa yang Anda alami?
“Untuk saya pribadi pengalaman rasis tidak secara langsung menerima kecaman dengan bahasa verbal maupun dengan tindakan. Saya justru menerima kecaman secara verbal namun terkadang dengan cara yang humoris. Misalnya ujaran “rambut kamu kok gitu sih, kek sabut kelapa” dan “Kulit kalian itu item-item yah". Kadang hal sepele itu justru dihumorkan gitu. Entah karena saya yang lucu jadinya saya juga menerimanya sambil lalu aja. Bahkan hal-hal lain selain dari rasisme saya juga pernah dapat pengalaman tidak senonoh terkait dengan keagamaan. Misalnya pengalaman saat mencari kos. Saat pemilik kos harus menguji kami dengan tes ngaji, melihat identitas (KTP), ditanya agama dan asal, dll. Beberapa kali cari kos dapat pengalaman yang sama selalu ditolak kalau dari orang Timur. Mungkin dengan pengalaman mereka melihat bahwasanya orang Timur itu identik dengan orang radikal dan kasar, dll.”
Bagaimana tanggapan Anda ketika orang lain berkata rasis kepada Anda?
“Tanggapan saya pribadi ketika mendapatkan kasus demikian, saya menganggap itu adalah stakeholder buat saya untuk menjadi yang lebih unik di antara orang-orang kulit putih dan berambut lurus. Saya orangnya percaya diri dan kurang menggubris apa kata orang di luar sana. Untuk meyakinkan kepada orang-orang bahwa di Timur itu tidak seperti yang dilihat secara kasat mata. Suara kami besar, kami keras dari perawakan, kadang bertindak tidak wajar, tapi yakinlah orang Timur itu hatinya lembut. Jika kami kasar dan radikal itu karena ada sebab dan akibat yang menyebabkan kami bisa seperti itu. Jangan pernah mengusik singa yang sedang tidur jika tidak mau ketenangan kalian diobrak-abrik. Jika ingin melihat orisinalitas orang timur, datanglah ke tempat mereka. Maka kalian akan menemukan siapa itu orang timur yang kalian pikir radikal.”
Siapa saja yang melontarkan rasisme?
“Ada dari teman mahasiswa dan non mahasiswa.”
Kapan/ketika apa rasisme itu terjadi?
“Saat berkuliah dan saat holiday di luar Yogyakarta.”
Sempatkah Anda marah atau berbalik menghujat ketika mengalami rasisme?
“Jika ditanya sempatkah kamu marah, jelas saya marah. Tapi model marah kami yang bagaimana, tidak harus saya bertindak gegabah langsung dengan fisik. Tapi saya menghadapi dengan slow aja, jika itu masih dalam koridor yang masih saya toleransi. Apabila dikatain sudah melewati batas maka di situ kami akan berkonsolidasi.”
Mengapa rasisme terus berlanjut?
“Rasisme akan terus berlanjut jika tidak ada kesadaran akan persatuan dalam perbedaan ras. Menganggap perbedaan menjadi sekat yang menyebabkan saling intoleransi. Bahkan terlalu mengedepankan etnosentrisme hingga budaya orang lain tidak dihiraukan. Ini bukan saja perkara akan minimnya pendidikan atau tidak ada perhatian dari negara. Justru yang mengecam isu rasisme tidak sedikit dari kalangan pendidik. Negara telah banyak menggaungkan UU tentang rasisme, tapi hari ini tetap saja rasisme terus melanglang buana di negara kita. Kita hanya butuh kesadaran untuk menghargai saja. Menerima perbedaan kami yang hitam dan keriting.”
Menurut Anda apa hukuman yang tepat bagi mereka yang rasis?
“Harus diadili dengan hukum dan regulasi sesuai dengan aturan UUD negara kita. Entahlah, mungkin hukum sudah kebal bagi mereka, tapi tonggak keadilan harusnya mesti di gaungkan.”
Selanjutnya, saya juga mewawancarai teman kos saya yang memiliki pernyataan rasis meskipun tidak sampai dilontarkan kepada orang lain. Sebut saja “AB”, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengetahui kejadian yang tak senonoh. Ia mengatakan ada salah satu kos/basecamp mahasiswa dari Indonesia Timur di Banguntapan, Bantul dijadikan sebagai tempat mabuk-mabukan hingga mengganggu dan meresahkan warga sekitar. Dari kejadian itu, ia sempat menghakimi secara sepihak bahwa orang Indonesia Timur itu dekil, tidak beradab, dan suka membuat onar.
Apabila menilik Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Diskriminasi Ras dan Etnis, dalam UU tersebut telah jelas tertulis hukuman yang berat bagi pelaku diskriminasi. Namun kembali ke pribadi masing-masing, UU yang tertulis pun terkadang tidak bisa diterapkan, kesadaran dan toleransi akan perbedaan yang bisa dipupuk sejak dini adalah kunci utama untuk menciptakan kedamaian dan kerukunan di tengah-tengah kebhinekaan Indonesia.
Penulis : Wibby Arief
Editor : Tim Manifesto Rayon Aufklarung
Komentar
Posting Komentar